Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September
1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan,
Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung
heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang
ulama yang berpengaruh di kampungnyadan mendapat gelar dari
masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh".
Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan
religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative
age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban
magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap
meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di
bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat
mengilhami langkah hidupnya kemudian.
Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah salah
satu tokoh ulama besar Aceh. Bersama ulama lain pada
zamannya, beliau berjuang mengibarkan dan menegakkan
panji-panji Islam di bumi Aceh. Sebagaimana yang pernah
dituturkannya kepada Boyd R. Compton
dalam sebuah wawancara, "Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu". (Boyd R. Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1995)
dalam sebuah wawancara, "Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu". (Boyd R. Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1995)
Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama
Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari
penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan
orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti
posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap
membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah,
ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi
yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment
Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan
kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika
masa kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang
menjiwai ayahnya adalah semangat anti-Belanda/penjajah yang
masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam
suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih
nyaring di telinga masyarakat Aceh.
Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud ditempa dan
dididik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan
agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik,
dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah
tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu
lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya
ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi
keulamaannya kelak.
Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun
dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu
menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk
bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang
merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya
menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).
Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena ia
merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar tentang
segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan
"mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun,
ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan
mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia
menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai
popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di
Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di
Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut
nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran
seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma
kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang
pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh perlawanan. Dari
kenyataan ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas
resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum
cita-cita tercapai. Kendatipun pihak lawan menggunakan
segala daya dan upaya untuk membungkam perlawanan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar